Sikap PT Pertamina (Persero) yang belum menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi di tengah harga minyak dunia yang anjlok bahkan minus dinilai masuk akal mengingat Pertamina terikat dengan beragam regulasi. Salah satunya terkait regulasi harga BBM dari pemerintah hingga soal operasional kilang dan sumur minyak. Dengan harga minyak mentah yang mengalami penurunan, Pertamina secara bisnis terdampak disisi hulu, tapi tidak di sisi midstream dan downstream.
Tetapi kondisi downstream Pertamina ini tidak dalam kondisi normal, dikarenakan permintaan atas konsumsi BBM juga mengalami penurunan. Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyampaikan, menentukan harga jual BBM tidak hanya dari harga minyak mentah tapi juga biaya operasional bisnis, dan lain lain. Ini perlu dipertimbangkan agar kegiatan bisnis tetap berjalan normal. Bahkan, harga jual BBM Pertamina saat ini dari pembelian dua tiga bulan lalu. Alhasil tidak bisa dilihat satu variabel saja. Jadi, harus melihat keseluruhan dari unit bisnis yang dijalankan Pertamina.
Termasuk di antaranya, bahwa biaya yang dikeluarkan Pertamina juga sangat besar. Hal ini terkait dengan kondisi geografis Indonesia yang sangat luas dan sulit. “Kita tidak bisa membandingkan harga BBM di Indonesia dan Malaysia. Luas wilayah berbeda, biaya distribusi juga berbeda. Jadi, banyak biaya variabel yang dikeluarkan,” kata Mamit dalam keterangannya, Minggu (3/5). Berbagai faktor tersebut, menurut Mamit, tentu memperberat kondisi Pertamina. Terlebih saat ini permintaan BBM juga menurun jauh.
Hal ini juga berbeda dibandingkan dengan pemain swasta lain, sehingga butuh banyak pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Di sisi lain Mamit mengingatkan, bahwa Pertamina sebenarnya juga sudah menurunkan harga BBM nonpenugasan pada Februari lalu. Hulu Migas khususnya Pertamina memiliki biaya biaya yang dibebankan oleh Pemerintah. Dalam kondisi penanganan wabah covid 19 saat ini, Pertamina sudah memberikan banyak bantuan dalam covid19 inisehingga tidak serta merta harga minyak dunia turun maka harga BBM Pertamina harus diturunkan.
“Jadi, melihat bisnis Pertamina memang harus secara holistik, menyeluruh. Karena tidak hanya bermain di hilir tetapi juga di hulu, yang saat ini mengeluarkan banyak biaya. Ini yang berbeda dengan swasta lain,” kata Mamit. Di sisi lain, tak kalah penting, perlu juga disiapkan insentif oleh pemerintah untuk K3S di masing masing lapangan di tengah anjloknya harga minyak agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Jangan sampai, terjadi penghentian produksi karena dari sisi dampak juga besar apalagi mayoritas sumur minyak sudah tua di mana memerlukan biaya besar jika diaktifkan lagi.
Opsi lain, pemerintah merelakan untuk mengurangi jatah bagi hasil dari penerimaan pajak negara bukan pajak dari K3S. Sehingga akan meringankan beban bisnis K3S. Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengingatkan, sikap pemerintah yang belum menurunkan harga BBM sudah sangat tepat. Pasalnya, meski mengalami penurunan, namun harga minyak dunia sebenarnya masih fluktuatif. Sekitar 2 3 bulan mendatang saat pandemi corona sudah mereda, diperkirakan harga akan kembali normal.
Dengan normalnya kondisi, lanjut Komaidi, otomatis sejumlah negara, seperti Jepang, Korea Selatan dan China, sudah melakukan ancang ancang untuk perbaikan proses produksi. Begitu pula dengan negara negara G 7, terutama di Eropa, yang saat ini masih gigih menangani COVID 19. Bahkan saat ini China sudah mulai pengadaan minyak dan gas, bahkan batubara. Proses itu dimulai, karena karena industri manufaktur mereka sudah mulai berjalan. Dengan peningkatan produksi manufaktur barang dan jasa itulah, imbuhnya, otomatis permintaan minyak juga meningkat. Dan stok saat ini, mulai bisa terserap sehingga harga berangsur normal.
Ia mewanti wanti, meski minyak turun dan konsumsinya anjlok dratis, tak serta merta bisa membuat Pertamina menghentikan operasi kilang minyaknya. Kilang itu memerlukan biaya operasi. Pilihan menutup sumur minyak juga bukan opsi menguntungkan. Menutup sumur agar biaya operasi tak lagi keluar, malah akan mematikan sumur minyak. Butuh biaya lagi untuk menemukan dan mengebor sumur baru lagi. Saat ini permintaan BBM secara nasional anjlok 34 persen, bahkan di Jakarta permintaan anjlok mencapai 54%. Karena itu, yang lebih harus dilakukan, di tengah Covid19, distribusi BBM ke berbagai daerah pelosok dapat terus dilakukan dan terjamin.
Pertamina dinilai sudah menjalankan bisnis migas dengan menyediakan energi di seluruh Indonesia yang membutuhkan biaya operasional. Adapun soal harga BBM di Indonesia, di Asean hanya lebih mahal sedikit dengan Malaysia, selebihnya lebih murah dari Thailand Vietnam. Pandangan bahwa saat harga murah Pertamina bisa borong minyak, juga harus dilihat terperinci karena ada keterbatasan storage. Sementara jika pakai floating storage, semua kapal juga sudah tidak bisa sandar. Karena itu, pemerintah didorong membangun infrastruktur minyak dan gas sebagai investasi seperti membangun jalan, jangan dilihat sebagai cost.
Sebelumnya, dalam sebuah diskusi, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menyebut, harga minyak saat ini adalah bottom maka bisa dikatakan ini sebuah proses untuk melakukan balancing dengan energi baru terbarukan. Di sisi lain, untuk dapat menjaga bisnis hulu migas tetap survive, harga minyak mentah yang pas yaitu di angka $20/barrel. “Suatu perusahaan migas tidak dapat langsung menurunkan/menghentikan produksi migas di saat harga minyak turun, karena akan sulit untuk mulai menjalankan operasionalnya lagi. Angka realisasi produksi minyak Indonesia di triwulan 1 yaitu 728 ribu barel/day,” ujarnya. Berita Ini Sudah Tayang di KONTAN, dengan judul: