Reaksi Ketua KPU Arief Budiman Tahu Wahyu Setiawan Terima Gratifikasi Rp 500 Juta

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Arief Budiman, mengaku kaget mendengar mantan Komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan, menerima hadiah atau janji berupa uang sebesar Rp 500 juta terkait proses seleksi Calon Anggota KPU Daerah Provinsi Papua Barat periode tahun 2020 2025. Menurut dia, mantan anak buahnya itu tidak pernah melaporkan peneriman uang tersebut. "Banyak hal yang membuat saya kaget, karena enggak paham soal itu. Itu malah saya enggak tahu, enggak pernah disampaikan," kata Arief Budiman, saat memberikan keterangan sebagai saksi untuk terdakwa Wahyu Setiawan, di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (4/6/2020).

Untuk penerimaan gratifikasi uang Rp 500 juta, Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkap pemberian itu terkait proses seleksi Calon Anggota KPU Daerah Provinsi Papua Barat periode tahun 2020 2025. Upaya pemberian uang untuk meminta KPU RI, melalui Wahyu Setiawan agar anggota KPU Provinsi Papua Barat diisi putra daerah Papua. Wahyu menerima uang dari Rosa Muhammad Thamrin Payapo, Sekretaris KPU Provinsi Papua Barat.

Uang itu diduga berasal dari Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan. Sejauh ini, dia mengaku, hanya mengetahui Wahyu Setiawan sebagai Koordinator Wilayah Provinsi Papua Barat. "Dia memang di sana. Laporan itu tahapan perkembangan kalau memang ada seleksi kalau ada supervisi tentang tahapan pemilu macam macam," katanya.

Untuk diketahui, Mantan Komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan didakwa menerima hadiah atau janji berupa uang senilai SGD (Dollar Singapura) 19.000 dan SGD 38.350 atau sekitar Rp 600 juta terkait permohonan Penggantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019 2024. Wahyu didakwa bersama sama dengan kader PDI Perjuangan, Agustiani Tio Fridelina, yang juga mantan anggota Bawaslu RI. Upaya suap diberikan agar Wahyu Setiawan mengupayakan KPU RI menyetujui permohonan Penggantian Antar Waktu (PAW) PDI P dari Riezky Aprilia sebagai anggota DPR RI Daerah Pemilihan Sumatera Selatan kepada Harun Masiku.

Suap itu diberikan kader PDI Perjuangan, Saeful Bahri bersama sama dengan Harun Masiku, anggota PDI Perjuangan. Selain itu, Wahyu Setiawan, didakwa menerima hadiah atau janji berupa uang sebesar Rp 500 juta. Upaya pemberian gratifikasi itu terkait proses seleksi Calon Anggota KPU Daerah Provinsi Papua Barat periode tahun 2020 2025. Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Wahyu Setiawan, didakwa menerima hadiah atau janji berupa uang sebesar Rp 500 juta.

Upaya pemberian gratifikasi itu terkait proses seleksi Calon Anggota KPU Daerah Provinsi Papua Barat periode tahun 2020 2025. Sidang pembacaan surat dakwaan digelar di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (28/5/2020). "Terdakwa I menerima hadiah atau janji, berupa uang sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dari Rosa Muhammad Thamrin Payapo (Sekretaris KPU Provinsi Papua Barat, red)," ujar Takdir Suhan, Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi, saat membacakan surat dakwaan.

Takdir mengungkapkan, upaya pemberian suap itu berawal pada bulan Desember 2019 saat agenda seleksi Calon Anggota KPU Daerah Provinsi Papua Barat periode tahun 2020 2025. Dalam rangka proses seleksi tersebut dibentuk Panitia Seleksi yang dilantik oleh KPU RI sekitar akhir bulan November 2019 di Jakarta. Setelah acara pelantikan, Rosa, yang menghadiri acara pelantikan tersebut sempat bertemu dengan Terdakwa I di ruang kerjanya di kantor KPU RI.

Pada saat itu Terdakwa I menyampaikan "Bagaimana kesiapan Pak Gubernur, ahh cari cari uang dulu" yang dipahami Rosa bahwa Terdakwa I selaku anggota KPU RI diyakini dapat membantu dalam proses seleksi Calon Anggota KPU Provinsi Papua Barat. "Secara umum diketahui adanya keinginan masyarakat Papua agar anggota KPU Provinsi Papua Barat yang terpilih nantinya ada yang berasal dari putra daerah asli Papua," ujar Takdir. Setelah kembali dari Jakarta, Rosa melaporkan kepada Dominggus Mandacan, selaku Gubernur Papua Barat bahwa Terdakwa I diyakini dapat membantu memperjuangkan Calon Anggota KPU Provinsi Papua Barat terpilih dengan imbalan berupa uang.

Atas penyampaian tersebut, Dominggus merespon dengan mengatakan "Nanti kita lihat perkembangan". Proses seleksi selanjutnya diikuti sekitar 70 (tujuh puluh) peserta seleksi termasuk sekitar 33 (tiga puluh tiga) orang peserta yang merupakan Orang Asli Papua (OAP). Pada tahap memasuki proses wawancara dan tes kesehatan ternyata hanya menyisakan 8 (delapan) peserta seleksi, termasuk di antaranya 3 (tiga) peserta yang merupakan putra daerah Papua, yaitu Amus Atkana, Onesium Kambu, dan Paskalis Semunya.

"Hal ini menyebabkan warga masyarakat asli Papua melakukan aksi protes (demonstrasi) di Kantor KPU Daerah Provinsi Papua Barat dengan tuntutan agar peserta seleksi yang nanti terpilih menjadi anggota KPU Provinsi Papua Barat harus ada yang berasal dari putra daerah Papua," tutur Takdir. Perkembangan hasil proses seleksi tersebut dilaporkan Rosa kepada Dominggus yang menanggapi bahwa dengan adanya kondisi tersebut, maka sebaiknya harus ada putra daerah Papua yang terpilih menjadi anggota KPU Provinsi Papua Barat, supaya situasi keamanan bisa kondusif. Sehingga Dominggus akan mengupayakan sejumlah uang sebagaimana yang pernah dibicarakan sebelumnya terkait proses seleksi tersebut.

Pada tanggal 20 Desember 2019, Rosa menghubungi Terdakwa I yang pada pokoknya membicarakan perkembangan situasi di Papua yang kurang kondusif terkait proses seleksi Calon Anggota KPU Provinsi Papua Barat periode 2020 2025 maupun arahan Dominggus agar dari peserta seleksi yang tersisa, yaitu Amus Atkana dan Onesimus Kambu sebagai putra daerah Papua dapat dibantu dalam proses seleksi agar terpilih. Pada tanggal 3 Januari 2020, Rosa menerima titipan uang sebesar Rp 500 juta dari Dominggus. Setelah menerima titipan uang tersebut, Rosa menyetorkannya ke rekening miliknya untuk nantinya akan ditransfer ke rekening Terdakwa I.

Selanjutnya Rosa memberitahukan Terdakwa I bahwa telah ada uang yang akan diberikan kepada Terdakwa I sekaligus meminta nomor rekening agar uang tersebut bisa ditransfer. Kemudian, terdakwa meminta tolong kepada Ika Indrayani, istri dari sepupu Terdakwa I, agar meminjamkan rekening pribadinya dengan alasan untuk keperluan bisnis. Setelah diberikan Ika, selanjutnya Terdakwa I memberikan nomor rekening tersebut kepada Rosa.

Pada tanggal 7 Januari 2020 bertempat di Bank BCA Manokwari, Rosa melakukan pemindahan dana sebesar Rp 500 juta dari rekening Bank Mandiri miliknya dengan cara menarik uang secara tunai. Dan selanjutnya, melalui bantuan Patrisius Hitong disetorkan tunai ke rekening bank atas nama Ika sebagaimana arahan dari Terdakwa I. Lalu, Rosa menyampaikan kepada Terdakwa I bahwa telah mentransfer uang sejumlah Rp 500 juta ke rekening atas nama Ika.

Terdakwa I kemudian menghubungi Ika untuk mengecek apakah sudah ada uang masuk dan setelah dicek oleh Ika melalui BCA mobile banking, ternyata sudah ada uang yang masuk ke rekening tersebut. Perbuatan Terdakwa I merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 11 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *