Harusnya Kita Bersatu Hadapi Covid-19 Tapi Muncul RUU Haluan Ideologi Pancasila AHY

Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyayangkan adanya rencana pembahasan Rancangan Undang Undang Haluan Idelogi Pancasila (RUU HIP) di tengah pandemi Covid 19. "Kita sayangkan, di saat yang seharusnya kita bersatu, kemudian dimunculkan isu lain (RUU HIP) yang tidak memiliki urgensi tapi kontraproduktif terhadap upaya besar bersama menghadapi krisis Covid 19," ujar AHY dalam webinar Agama dan Pancasila Merawat Ke Indonesiaan, Jakarta, Jumat (26/6/2020). Menurut AHY, sikap Demokrat saat ini jelas menolak draf RUU HIP yang penuh dengan kontroversi dan dapat menghadirkan permasalahan baru di dalam negeri.

"Bahkan bisa menghadirkan mundur ke belakang, karena memang saat ini yang dibutuhkan oleh kita semua adalah fokus dan energi yang satu untuk menghadapi Covid 19," kata AHY. AHY menyebut, pandemi Covid 19 bukan hanya berdampak pada kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, tetapi aspek kehidupan ekonomi serta sosial masyarakat turut terpukul. "Kita tahu banyak masyarakat mengalami kesulitan, banyak yang lapar, banyak yang kehilangan pekerjaanya. Ini semua harus menjadi perhatian kita bersama," ujar AHY.

"Sekali lagi, ini (RUU HIP) bisa menghadirkan permasalahan baru yang tidak kita inginkan. Bagi kami hadirnya RUU HIP yang memuat poin poin kontroversi perlu dikritisi," kata AHY. Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siradj sepakat menolak RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Kesepakatan tersebut diambi dalam pertemuan AHY dan Said Aqil di Kantor PBNU.

Keduanya membahas berbagi pandangan terkait RUU HIP yang menjadi kontroversi, sekaligus mengancam fondasi kehidupan bersangsa. “Sebagaimana yang teman teman ketahui bersama bahwa posisi Partai Demokrat secara tegas menolak dilanjutkannya pembahasan RUU HIP. Kami memiliki kesamaan cara pandang dengan teman teman Nadhliyin dan elemen masyarakat lainnya,” kata AHY di Kantor PBNU, Jakarta, Kamis (25/6/2020). Menurut AHY, ada empat alasan kenapa RUU HIP harus ditolak.

Pertama, kehadiran RUU tersebut akan memunculkan ketumpangtindihan dalam sistem ketatanegaraan. "Sebab ideologi Pancasila adalah landasan pembentukan konstitusi, yang melalui RUU HIP ini justru diturunkan derajatnya untuk diatur oleh undang undang. Justru hal itu menurunkan nilai dan makna Pancasila,” kata AHY. Menurutnya, RUU ini berpotensi memfasilitasi hadirnya monopoli tafsir Pancasila, yang selanjutnya berpotensi menjadi alat kekuasaan yang mudah disalahgunakan dan tidak sehat bagi demokrasi.

Kedua, RUU HIP ini juga mengesampingkan aspek historis, filosofis, dan sosiologis, dimana RUU ini tidak memuat TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme sebagai konsideran dalam perumusan RUU HIP ini. “Padahal, TAP MPRS tersebut merupakan landasan historis perumusan Pancasila, yang kemudian kita sepakati secara konsensus sebagai titik temu perbedaan di tengah kompleksitas ideologi dan cara pandang kebangsaan," kata AHY. Alasan ketiga, RUU HIP memuat nuansa ajaran sekularistik atau bahkan ateistik, sebagaimana tercermin dalam Pasal 7 ayat 2 RUU HIP.

“Hal ini mendorong munculnya ancaman konflik ideologi, polarisasi sosial politik hingga perpecahan bangsa yang lebih besar,” ucapnya. Alasan keempat adalah adanya upaya memeras Pancasila menjadi trisila atau ekasila, sebagaimana tercantum dalam pasal 7 ayat (3), yang berbunyi “..Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong royong". "Hal itu jelas bertentangan dengan spirit Pancasila yang seutuhnya,” kata AHY.

Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengkritik DPR yang mengusulkan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Margarito Kamis menilai adanya RUU HIP adalah cara untuk mereduksi nilai nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. "Jangan jangan ini cara mereduksi Pancasila, sekali lagi ini kan diletakkan dengan undang undang yang menjadi objek mulia," kata Margarito Kamis dalam webinar bertema 'RUU HIP, Dalam Perspektif UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945', Rabu (17/6/2020).

Margarito Kamis beralasan RUU HIP ini membuka ruang hidupnya ideologi lain karena tidak dimasukannya TAP MPRS XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara, dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme. Menurutnya, TAP MPRS XXV/1966 merupakan hal fundamental sebagai pijakan dari RUU HIP ini. "Jadi jangan jangan RUU HIP ini adalah cara menyediakan pintu masuk kecil untuk mereduksi Pancasila," ujarnya.

Namun, ia juga menyoroti dominasi perbincangan TAP pelarangan PKI dan ajaran Komunisme itu. Menurutnya, hal itu menenggelamkan semua kalangan ke dalam, seolah olah TAP itu adalah satu satunya TAP, yang relevan untuk diperbicangkan. Ketetapan Padahal, kata Margarito, ada ketetapan lain yang berhubungan dengan RUU HIP, namun banyak dilupakan orang.

Yaitu TAP MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 Tentang Pembentukan Panitia Peneliti Ajaran Ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Ketetapan ini ditetapkan pada tanggal 5 Juli 1966. Tanggal yang sama dengan ketetapan MPR Nomor XXV itu. Hasil kerja Panitia, menurut pasal 3 TAP ini harus menyampaikan laporannya ke Badan Pekerja MPRS untuk mendapatkan persetujuan, sambil menunggu pengesahan oleh MPRS atau MPR hasil pemilihan umum yang akan datang

Namun, Margarito tidak mendapat informasi apakah ada laporan kepada MPR yang bersidang pada tahun 1973. "Apakah benar benar dilakukan penelitian, dilaporkan ke BP MPRS, juga tidak jelas. Tidak dapat berspekulasi, tetapi kenyataan terferifikasi menunjukan pada Sidang Umum MPR tahun 1973, juga tak dikeluarkan ketetapan tentang pengesahan laporan itu," ucapnya. Atas kenyataan itu, Margarito berpendapat ada dua masalah.

Pertama, apa dan bagaimana ajaran Bung Karno. Mana yang dinyatakan dikoreksi atau yang tidak dikoreksi. Sebagai konsekuensi tidak ada laporan itu, maka tidak seorang pun yang dapat secara otoritatif menyatakan ajaran Bung Karno bagian ini atau itu sebagai ajaran, setidak tidaknya tidak bisa dikembangkan. Kedua, kata Maragarito, tidak adanya ajaran Bung Karno Pimpinan Besar Revolusi yang dikoreksi secara hukum, dan dinyatakan secara hukum.

Misalnya, tidak bisa dikembangkan, maka konsekuensi hukumnya tidak ada ajaran Bung Karno yang terlarang untuk dikembangkan. Konsekuensi ini menghasilkan kabut hitam tebal untuk dua hal. "Bagaimana memastikan secara spesifik ajaran bung Karno? Bagaimana memastikan secara spesifik cara mengembangkannya? Ini adalah dua kabut tebalnya. Pada titik ini, beralasan untuk menempatkan RUU HIP sebagai cara mengembangkan ajaran Bung Karno. Cara yang kehebatannya terlegitimasi secara rapuh dengan hukum," katanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *